oleh Renny Masmada
BAB I-1
Matahari pada pertengahan tahun 1330 itu cerah menyengat lembut dedaunan yang meliuk-liuk dipermainkan angin utara. Sesekali burung-burung kecil melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Cericitnya menimbulkan suara yang sangat merdu mengalun sampai jauh dibawa semilir angin.
Sepeninggal Sang Prabu Jayanagara yang bergelar Wiralandagopala Sri Sundarapandyadewa Adiswara, Majapahit, Wilwatikta agung, sibuk berbenah diri. Sebagai Ratu yang mewakili ibunda Suri Ratu Sepuh Rajapatni, Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani menggantikan kakaknya di pertengahan tahun 1328.
Sebagai Ratu Majapahit mewakili ibundanya, Tribhuanatunggadewi yang juga Ratu di Kahuripan, berupaya keras melanjutkan cita-cita kakaknya mewujudkan kerajaan besar seperti yang juga menjadi cita-cita eyangnya Sri Kertanegara, Raja Singasari terakhir.
Angin semilir menyisir lereng-lereng terjal, menerpa ujung-ujung dedaunan, menyebar serbuk-serbuk tetanaman di lahan-lahan subur di lereng-lereng pegunungan. Siang hari itu, alam sangat bersahabat. Panas Matahari bercengkerama dengan sejuknya semilir angin yang membuat keasrian tersendiri.
Namun ketenangan itu tiba-tiba dipecahkan oleh deru belasan kaki-kaki kuda yang berderap menimbulkan kepulan debu di belakangnya.
Serombongan kecil prajurit berkuda Majapahit berpacu dengan cepat membelah jalan raya yang membujur di tepi pesawahan itu ke arah selatan. Perwira Tunggul Raganata diiringi Perwira Muda Kidang Alit berlari lebih cepat di depan yang lain. Mereka berpacu seperti mengejar sesuatu, tampak dari cara mereka menempel ketat di punggung kuda masing-masing.
Nun Jauh di sana, di desa Tegal Arum, ketenangan desa dipecahkan oleh kegaduhan yang luar biasa. Penduduk dengan panik berlari kesana-kemari. Anak-anak kecil dengan tangisan yang menyayat kadang-kadang jatuh terseret oleh orang tuanya.
Keadaan sangat kacau.
Beberapa hari belakangan ini, desa Tegal Arum diguncang oleh ancaman kelompok Kala Seribu yang dikenal sangat kejam dan menakutkan.
Tanpa alasan yang jelas kelompok itu akan mengambil pemuda-pemuda desa. Hal itu menimbulkan ketegangan dan ketakutan para orang tua desa terpencil itu. Apabila keinginan mereka tak dipenuhi, mereka mengancam akan membumi-hanguskan desa Tegal Arum dan sekaligus membawa anak gadis mereka.
Untuk itulah beberapa hari yang lalu Bagas Tempati, Kepala Pengawal Desa telah mengutus seseorang ke Kotaraja untuk melaporkan kejadian menakutkan itu. Tetapi, belum lagi utusan kembali dari Kotaraja, seluruh penduduk pagi itu sangat terkejut ketika beberapa kawan mereka dari pesawahan berlari-lari sambil berteriak-teriak ketakutan.
Mereka melihat serombongan orang yang diketahui dari kelompok Kala Seribu kembali memasuki desa mereka.
Dengan cepat berita itu menyebar ke seluruh pelosok desa. Suara kentongan terdengar saling bersahut-sahutan.
Gadis-gadis yang terlanjur sudah berada di sungai, tanpa menghiraukan pakaian yang akan dicucinya begitu saja menghambur pulang bersama kawan-kawan mereka. Orang-orang tua sibuk mencari anak-anak mereka untuk bersembunyi. Beberapa ibu dengan suara bergetar memanggil anak-anak mereka.
Penduduk yang masih berada di dalam rumah menutup rapat rumah mereka. Bahkan sebagian lainnya tanpa sadar bersembunyi di kandang kerbau mereka, di balik rumput-rumput kering. Para pemuda yang punya sedikit keberanian menyambar senjata apa saja yang mereka miliki di rumah. Bersama kawan-kawannya mereka bergabung dengan para pengawal desa, mencoba menentramkan penduduk yang panik luar biasa.
Suasana hiruk-pikuk. Keadaan kacau balau.
Dengan garang belasan orang dari kelompok Kala Seribu itu tanpa sebab merusak rumah-rumah yang dilewati mereka, bahkan sebagian lainnya sempat membakar kandang ternak. Kebakaran kecil tampak di sudut-sudut sebagian rumah penduduk. Belasan penduduk berusaha memadamkan api. Penduduk tua-muda, wanita dan laki-laki, anak-anak berhamburan kesana-kemari tak tentu arah.
Sebagian penduduk berlarian dengan hewan peliharaan mereka seperti sapi, kerbau, kambing dan ayam. Banyak wanita yang berteriak-teriak ketakutan. Beberapa tempat sudah porak-poranda. Kepanikan terjadi di sana-sini.
Beberapa pengawal desa dengan senjata seadanya dipimpin Bagas Tempati dan adik sepupunya Kunang Gawa sibuk kesana-kemari menentramkan penduduk.
“Tenang…..tenang.., saudara-saudara, tenang…! Jangan panik. Semua kita atasi bersama,” teriak Bagas Tempati sambil berlari kesana kemari menentramkan penduduk.
Penduduk mulai berkumpul saling berdekatan, memperhatikan Bagas Tempati, tetapi masih tampak kegelisahan di wajah mereka.
“Saudara-saudara, jangan panik, jangan takut terhadap gerombolan Kala Seribu yang dipimpin Kala Warang bersaudara itu,” teriak Bagas Tempati kembali dengan nafas terengah-engah.
“Apa daya kita menghadapi mereka? Kala Warang bersaudara sangat sakti. Mereka tokoh hitam yang sangat ganas, ditakuti di Majapahit. Siapa yang mampu menghadapi kesaktiannya?” tanya salah seorang penduduk sangat ketakutan.
Mendengar itu, mereka kembali bergeremang ketakutan. Bagas Tempati menghela nafas, menenangkan diri. Sementara puluhan pasang mata penduduk yang tak berdosa itu menatapnya tajam, ketakutan.
“Tenanglah saudara-saudara. Setinggi apapun kesaktian Kala Warang, bagaimanapun harus tetap kita hadapi. Bersama-sama,” ujar Bagas Tempati berusaha meyakinkan.
“Kakang Bagas benar. Harga diri kita tidak bisa diinjak-injak begitu saja,” seru Kunang Gawa memberanikan diri.
Penduduk yang semakin ketakutan itu bersungut-sungut: “Ya, Kau benar Kunang Gawa, aku mengerti. Tetapi apakah tidak ada cara lain selain mempergunakan senjata?”
Penduduk saling bergeremang, semakin ketakutan.
Bagas Tempati menarik nafas, dengan tatag berkata sambil mengangkat senjatanya: “Kita tidak pernah mengangkat senjata untuk membunuh siapapun kecuali mempertahankan hak kita.”
(bersambung)